PT SOLID GOLD BERJANGKA -Melihat beberapa perintah eksekutif yg ditetapkan Presiden Amerika Serikat Donald Trump, sejumlah pihak mencoba membandingkannya dgn kebijakan Adolf Hitler, diktator Nazi Jerman.
Ternyata, dugaan kemiripan dua tokoh tersebut bukan baru saja dipikirkan.
Seorang penulis buku, Peter Ross Range, pernah mencoba menelisik kemiripan tersebut.
Ia menuliskan kemiripan tersebut di sebuah media terkemuka Amerika, Washington Post.
Paparan Peter Ross Range dalam Washington Post tersebut tidak bisa diabaikan.
Range adalah penulis buku "1924: The Year That Made Hitler."
Ia memulai dgn pengamatan saat Donald Trump menjawab pencalonannya sbg calon presiden dari Partai Republik.
Trump mengatakan: "Saya sendirilah yg dapat menyelamatkan Amerika & menyelamatkan dunia."
Dalam dunia politik modern, jarang ada kandidat yg berani dgn lantang mengaku sbg kebenaran dgn terang.
Ternyata, dalam sejarah, ada yg pernah melakukan hal tersebut. Ia adalah Adolf Hitler.
Perbandingan memang tidak serta-merta mempersamakan, karena Hitler sungguh keji & Trump bukanlah pembunuh massal.
Trump bukan seorang Nazi & tidak memulai perang.
Namun, bagi orang yg menyimak kebangkitan mengerikan Hitler kepada kekuasaan di Jerman, maka pidato, wawancara, & cara berpikir Trump terlihat terang-benderang.
Kemiripan terutama terlihat dari klaim Trump bahwa dia "sendiri" yg dapat menyelamatkan Amerika dari penderitaan.
Hitler dikenal memuja suatu model “manusia jenius & hebat” yg memegang kunci masa depan bangsanya.
Hitler menyebut demokrasi sbg "guyonan" & gencar mencela kelompok yg disebutnya "mayoritas yg lembek."
Dalam buku Mein Kampf, ia menuliskan bahwa kemajuan & peradaban diraih melalui "kecerdasan & energi dari suatu kepribadian yg kuat," termasuk pribadi spt Frederick Agung dari Rusia, Napoleon Bonaparte, Otto von Bismarck, &, secara tidak langsung, dirinya sendiri.
Hitler mendukung gagasan "pimpinan Fuhrer", suatu pandangan ketidakbersalahan seorang pemimpin.
Hal itu merupakan versi rumit dari prinsip "saya sendirilah".
Dengan pandangan itu, Hitler kemudian meraih kekuasaan di Jerman & memerintah sbg despot mutlak.
Analogi dgn Trump adalah "percayai saya" yg menjurus ke saat "saya sendirilah" saat konvensi Partai Republik.
Ajakannya adalah untuk percaya kepadanya untuk memecahkan masalah & menerapkan program ambisius semisal urusan 11 juta imigran gelap.
Katanya kepada para reporter di Michigan, "Harus ada rasa percaya."
Terkait terorisme, mengutip salah satu bukunya, Trump menjelaskan bahwa kemampuan unik untuk merasakan terorisme muncul saat orang lain tidak melihatnya, "Saya meramalkan terorisme karena saya dapat merasakannya."
Klaim Trump tentang kekuasaan tunggal terasa dalam wawancara dgn Time sebelum konvensi.
Ia menuduh Jerman, Jepang, & Korea Selatan mempermainkan Amerika Serikat soal urusan biaya pertahanan & menambahkan bahwa negara-negara itu harus membayar.
Berkelit dari seruan untuk lebih spesifik tentang kemampuan hebat jg menjadi teknik yg dipakai oleh Hitler.
Ia semakin mencengkeram pergerakan Nazi pada 1920-an hingga "gagasan" menjadi identik dgn orangnya.
Gagasan yg dimaksud adalah nasionalisme sosialisme.
Trump jg menyebutkan sepak terjangnya sbg pergerakan walaupun itu sebenarnya upaya satu orang (one-man show).
Dalam dunia bisnis, Trump menulis memoir "The Art of the Deal" terbitan 1987 bahwa "semua orang di bawah seorang tokoh puncak hanyalah sekadar karyawan."
Baca Juga : Kisah Uni Soviet Bantu Thailand Basmi Pemberontak Komunis | SOLID GOLD
Hal itu dapat terlihat dalam pergerakan politik & dalam pemerintahannya jg.
Hitler memandang dirinya sbg satu-satunya yg mencegah kiamat & meraih kehebatan bangsa.
Bagi Hitler, tidak ada yg setengah-setengah antara "keruntuhan total" yg mengancam Jerman di tangan konspirasi Yahudi-Bolshevik dgn visinya mengembalikan kejayaan Jerman.
Demikian jg dgn Donald Trump yg mengaku menghindari bencana Amerika melalui pemilihan dirinya, yg kemudian mengarah kepada kehebatan.
Trump bicara seakan dirinya sedang berada di puncak gunung & mengatakan, "Sayalah suara bagimu."
Hitler berada di 'puncak gunung' itu bahkan dalam paragraf pertama Mein Kampf.
Ia menyebut istilah "takdir" guna menjelaskan momen & tempat kelahirannya.
Takdir berulang kali disebutkan dalam bukunya & menjadi istilahnya untuk menyebut Tuhan.
Sementara itu, "kepribadian" merupakan permisalannya untuk ciri-ciri penanda manusia hebat.
Hitler menuliskan, "Kepribadian tidak dapat digantikan. Ia tidak bisa dilatih secara mekanis, tapi muncul karena anugerah Tuhan."
Itulah inti dari kompleks mesianik & pilar utama mitos sang Fuhrer, yaitu bahwa Hitler terlahir dgn keajaiban itu.
Melalui pergeseran menuju kenyataan gaib anugerah Tuhan, mudah bagi Hitler mengajak orang membuang skeptisisme, mengesampingkan tuntutan akan solusi sesungguhnya, & dalih bagi semua kekasaran yg mereka lihat dalam seorang pemimpin.
Demikian jg dgn Hitler. Ia menawarkan kepada mereka yg masih ragu bahwa mereka bisa membuang rasa tidak percaya karena, "saya sendirilah yg bisa memperbaikinya."
Cara itu berhasil bagi Hitler. Ketika Depresi Besar menerpa pada akhir 1929, cara yg dipakainya mulai menarik suara pemilih kepada Nazi sehingga partai itu menjadi kedua terbesar dalam Parlemen saat pemilu 1930.
Pada 1932, raupan suara mencapai 37,4 persen & Nazi menjadi partai terbesar di Jerman.
Pada Januari 1933, mereka menjadi penguasa.
Tentu saja tidak ada orang yg bisa mengatakan bahwa Januari 2017 merupakan perulangan Januari 1933.
Tapi hal itu menjelaskan kalimat sakti "Saya sendirilah" spt pendahulunya dalam sejarah.
Trump sendiri acuh terhadap sejarah. Melalui wawancara dgn New York Times, ia mengaku tidak mengetahui bahwa slogan "America First" dulunya dipakai oleh pergerakan isolasionis yg menarik simpatisan Nazi pada 1930 and awal 1940-an.
Trump boleh saja tidak mengetahui apa pun tentang teknik-teknik yg dipakai Hitler, tapi nalurinya sangat menjurus ke sana.
Sebagaimana halnya pada 1930-an, para pemilih diundang memasuki dunia khayal & mereka yg penasaran bergegas memasukinya.
(Prz - Solid Gold)